Pagi yang cerah di hari liburku. Dimana seharusnya pagi ini
aku dapat bersenang – senang dengan teman – temanku. Lari pagi keliling
kompleks atau makan bubur ayam di ujung kompleks. Namun, kenyataan berkata
lain. Kenyataan mengharuskanku untuk duduk diam di rumah dan menjaga adikku
selama ayah dan ibuku pergi keluar kota. Liburan panjangku kali ini kuhabiskan hanya bersama adik
tersayangku, Dhila, bocah kecil yang baru berusia 5 tahun. Ayah dan ibuku
mendadak harus keluar kota karena ada saudara jauhku yang sakit. Aku dan Dhila
pun tidak diperbolehkan untuk ikut bersama mereka.
Kata ayah dan ibu, kamu berdua dapat menghambat perjalanan
mereka. Ya, aku sadari. Aku memang tidak suka berlama – lama menginap di tempat
orang. Aku selalu mengajak ibuku pulang saking tidak betahnya. Jadi, aku juga
memilih untuk tidak ikut dengan mereka. Begitupun dengan Dhila, yang selalu
mengekor segala keputusan dan tindakanku. Sedangkan kakakku, Affan, sedang
pergi ke Bandung bersama teman – teman kampusnya menyangkut urusan kuliah.
Untuk hal yang satu ini, aku memang tidak mungkin ikut dengannya. Alhasil,
liburanku yang hanya tersisa tinggal satu minggu ini, aku lewatkan bersama
Dhila.
“Dhilaaaaaaaaaa! Mau kemana? Pagi – pagi udah keluar rumah!”
“Mau main sebentar, mbak,” jawabnya tanpa sedikitpun menoleh
ke arahku.
“Main sama siapa? Dimana? Jangan main jauh – jauh, Dhilaaaaa.
Lagi musim penculikan. Ntar kamu diculik aja. Kamu juga kan belum mandi,”
“Ih bentar aja, mbak.
Ntar aja mandinya. Rani juga belum mandi,”
“Ah tau ah! Susah banget dibilangin,” kataku dengan kesal.
Dhila pun bergegas berlari keluar rumah tanpa mengenakan alas
kaki. Seketika darah di seluruh tubuhku serasa naik ke ubun – ubun. Ketika aku
mengejarnya, tiba di dekat pintu pun aku mengehentikan langkahku. Aku teringat
kalau aku belum memakai kerudung. Karena aku malas untuk memakainya, akhirnya
aku membiarkan Dhila bermain.
“Tau deh ah! Main sampe sore sana! Ga usah pulang!” gerutuku.
Di rumah Rani. Di
tengah permainan antara Dhila dan temannya, Rani.
“Rani, kamu udah mandi?” tanya Dhila.
“Belum. Kamu?”
“Aku juga belum. Sama dong kita. Udah yuk lanjut lagi mainnya,” ajak Dhila.
“Iya. Eh tapi, Fadhila. Main masak – masakan aja deh sekarang.
Aku bosen main boneka melulu,” Rani mengeluh.
“Ih tapi kan kamu nggak punya mainan masak – masakan, Rani.
Main bayi – bayian aja yuk. Aku jadi mamanya, kamu jadi kakak pertama,” kata
Dhila.
“Yaudah deh. Tapi nanti main masak – masakan ya di rumah
kamu,” aja Rani kembali.
Di rumah pun ketika aku sedang asyik – asyiknya menonton acara
TV keseukaanku, Dhila dan Rani datang. Jujur, aku merasa terganggu jika teman
adikku bermain di rumahku. Ditambah lagi dengan keadaan Rani yang belum mandi.
“Dhila, kamu main melulu. Udah dong mainnya,” bujukku.
“Sebentar doang, mbaaaak,” Dhila agak merengek.
“Ih susah banget sih dibilangin. Udah tau di sini banyak
barang pecah belah. Jangan main dekat – dekat sama pajangan. Awas aja kalo
sampe ada pajangan ibu yang pecah!” kataku memperingatkan.
“Biarin,” Dhila mengacuhkanku.
Prentang! Aku terkaget. Segera aku menuju asal suara datang.
Dan ternyata...benar saja. Salah satu pajangan angsa kesayanganku, pecah.
Spontan aku langsung marah. Karena memang dia semua dalang dari pecahnya
pajangan tersebut.
“Dhila! Udah mbak bilangin kamu jangan main di deket pajangan!
Jadi pecah kan tuh! Ntar ibu bisa marah!” emosiku meluap.
“Bukan aku, mbaaaaak. Tadi Rani mau ngeliat, trus kesenggol
sama tangannya dia sendiri. Aku ga mecahin,” Dhila mencoba membela diri.
“Tetep aja kamu yang salah! Bandel banget sih jadi anak! Kalau
mau main, main di luar sana! Jangan bikin kesel orang rumah. Nyusahin banget
sih lo jadi anak. Sabar banget gue jadi kakak lo!” marahku semakin menjadi –
jadi.
“M-m-ma-maaf, mbak,” Dhila mulai menangis.
Rani berlari secepat – cepatnya untuk pulang ke rumah.
Sebenarnya aku tahu kalau Rani lah yang memecahkannya. Namun, aku tidak mungkin
memarahinya. Maka semua kemarahanku kuluapkan kepada Dhila.
Segera aku mengambil sapu untuk membereskan sisa – sisa beling
yang ada di lantai. Dhila pun menghampiriku. Bermaksud untuk membantuku ikut
membuang sisa – sisa beling tersebut.
“Sana ah! Gausah ganggu! Rusuh!” kataku.
Dhila pun bergegas lari keluar rumah sambil menangis. Aku
tidak menghiraukannya. Aku hanya fokus kepada pajangan angsa yang
dipecahkannya. Aku menyuruh Rani pulang.
“Rani pulang aja ya. Dhila nya aja kabur tuh gatau kemana,”
suruhku.
Setelah semuanya rapih, aku memutuskan untuk sholat Zhuhur dan
tidur siang sebentar.
“Si Dhila kemana sih? Abis bikin salah malah kabur. Ga nerima
salah banget. Tau dah, ntar juga dia pulang,” aku berbicara pada diriku
sendiri.
Setelah kira – kira 4 jam aku tidur, tepat pukul 17.00 aku
terbangun. Belum pernah aku tidur siang selama itu. Biasanya aku tidur siang
paling lama hanya 2 jam. Mungkin ini karena perasaanku yang sedang emosional.
Jadi tidurku kebablasan sampai 4 jam.
Dan ketika aku terbangun.
“Astaghfirullah! Udah jam 5. Dhila kok belom pulang ya? Main
di rumah Rani kali. Mana belum mandi lagi tuh anak dari pagi. Mending gue
sholat Ashar sama mandi aja lah,” kataku.
Setelah selesai sholat dan mandi, sekitar pukul 17.50, aku
mulai gelisah. Karena sampai sekarang Dhila belum pulang juga. Aku memutuskan
untuk mencari Dhila di rumah Rani.
“Apa? Dhila ga ke sini?” tanyaku kaget.
“Iya, Rima. Dhila ga ke sini daritadi. Tadi siang katanya
Dhila nya pergi keluar gatau kemana, jadinya Rani pulang deh. Tapi Dhila nya ga
ke sini,” kata ibunya Rani.
“Oh gitu ya? Oke deh. Makasih ya tante,”
Aku tidak berhenti sampai di sini saja. Aku pergi berkeliling
ke rumah teman – teman terdekatnya Dhila yang kuketahui. Di tengah peralanan,
hatiku terenyuh. Aku benar – benar merasa bersalah. Tidak seharusnya aku
memarahi dia seperti itu. Lagipula aku juga tahu kalau dia tidak bersalah.
Namun, sudah terlambat. Kini hanya penyesalan yang ada dalam diriku.
“Ya ampun, Dhila. Kamu kemana sih? Mbak takut nih. Mbak takut
kamu kenapa – kenapa,” aku mulai menangis.
Adzan Maghrib berkumandang. Dengan lemas aku berjalan pulang.
Mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat Maghrib. Seusai sholat Maghrib, aku
meminta pada yang Kuasa.
“Ya Allah...kemana Dhila? Hamba takut dia kenapa – kenapa, Ya
Allah. Hamba mengaku salah. Hamba sudah sangat keras terhadapnya tadi. Waapun
tadi dia tidak berbuat salah. Ya Allah...selamatkan Dhila. Hukum hamba bila
sesuatu yang buruk terjadi kepadanya,” tanpa disadari air mataku pun membasahi
pipiku.
Tidak lama kemudian.
“Assalaamu’alaikum, Karima,”
Amel, teman sekolah sekaligus tetanggaku, datang. Dalam
keadaan masih bermukena, aku pun langsung keluar.
“Wa’alaikum salaam. Kenap-a, Mel?” Nadaku terputus.
“Dhi-Dhila? Dhila kamu kemana aja? Mabak nyariin kamu kemana –
mana, Dhila,” aku langsung memeluk Dhila.
“Iya, Rim. Maaf ya. Tadi Dhila pas aku lewat rumah kamu, aku
ngeliat Dhila nangis. Aku tanya kenapa, katanya lagi berantem sama kamu, jadi
aku putusin buat bawa dia ke rumahku. Aku pengen ngasih tau kamu lewat sms
lupa. Aku lagi ga ada pulsa. Maaf banget ya, Rim,” Amel menjelaskan.
“Ya ampun, Ameeeeeel. Aku khawatir tau, Mel,”
“Iya. Maaf banget, Rim,” Amel meminta maaf.
“Iya gapapa, Mel. Yang penting Dhila ga kenapa – kenapa.
Makasih ya, Mel,”
Dengan segera aku memeluk Dhila.
“Dhila, maafin mbak ya. Tadi mbak terlalu keras sama kamu,”
“I-iya, mbak. Tapi besok – besok mbak jangan marah – marah
sama aku ya. Aku ga mecahin,” Dhila menangis.
“Iya, Dhila.Mbak tau kok kamu ga salah. Mbak yang salah udah
marah – marahin kamu. Maafin mbak ya,” aku meminta maaf.
“Iya, mbak. Maafin aku juga,”
Kami pun berpelukan. Dan aku berjanji kepada diriku sendiri
kalau aku tidak akan menyia – nyiakan keberadaaan Dhila sebagai adikku satu –
satunya. Aku menyadari bahwa aku sebenarnya sangat sayang kepadanya.
